Senin, 12 Maret 2012

Titik Temu Buku The Art Of War Sun Tzu, Manajemen Strategi, Dan Cerdik Seperti Ular


Dalam karya Sun Tzu yang ditulis kurang lebih 2500 tahun yang lalu mmebuat kebijaksanaan-kebijaksaan dalam mengatur strategi dan taktik untuk memenangkan pertempuran. Hal ini wajar bahwa situasi kehidupan Sun Tzu yang memanglah demikian adanya. Namun hal ini tidak berarti bahwa kebijaksanaan-kebijaksanaan itu hanya dapat dipakai dalam memenangkan suatu pertempuran fisik seperti kehidupan jaman Sun Tzu melainkan merupakan suatu kebalikannya. Penjelasannya adalah setelah membaca, merenungi dan menganalisis secara mendalam tentang buku-buku Sun Tzu, penulis merasa heran bahwa inti ajaran Sun Tzu adalah bagaimana menyiasati dengan bijak tanpa kekerasan, dan hal inilah yang merupakan suatu kebijaksanaan tertinggi dari Sun Tzu. Karena Sun Tzu tidak mengajarkan untuk mengeluarkan kekerasan dalam pertempuran melainkan menggunakan seni untuk mengalahkan lawan dengan merebutnya secara utuh.
Dalam pengertian bahwa Sun Tzu menanamkan nilai kebijaksanaan bahwa pertempuran fisik itu sebenarnya hanya membuang-buang energi dan sumber daya. Oleh karena itu, Sun Tzu mengajarkan untuk menaklukkan lawan atau pesaing menggunkan seni berpura-pura dan mengambil keseluruhan tanpa ada yang mengalami kerusakan. Sedangkan dalam studi-studi manajemen, tepatnya manajemen startegi yang beresensikan bagaimana mengatur strategi dan taktik yang disesuaikan dengan visi perusahaan/organisasi. Terkait dengan tulisan ini akan menggunakan rujukan buku manajemen strategi yang ditulis oleh Prof Hendrawan Supratikno, SE., MBA., Phd  bahwa esesnsi dari manajemen strategi adalah mengkaji tentang sifat-sifat cerdas dalam mengecoh pesaing. Hal ini memberi arti bahwa guna memenangkan persaingan bisnis yang begitu dahsyat, seorang pemimpin dan manajer harus mampu menyiasati atau mengeluarkan kecerdasannya guna mengecoh lawan, dan semua itu sekali lagi harus disesuaikan dengan visi dna misi organisasi.
Dalam tindakan mengecoh itulah, manajer dan pemimpin organisasi tidak harus melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai dengan standar etika melainkan hanya bagaimana menggunakan kecerdasan dan kelihaiannya dalam mengecoh pesaing. Dan tidak hanya itu saja, dalam buku itu juga secara implisit berarti bagaimana seni menjaga integritas organisasi/perusahaan melalui tindakan yang terpuji dan bukan melakukan aktivitas-aktivitas reputasi dari organisasi sehingga menimbulkan persepsi negatif yang apabila mau diperbaiki dapat menguras sumber daya perusahaan yang sangat besar. lanjut bahwa guna mengoperasionalisasi mengecoh pesaing dapat dilakukan dengan menganalisis kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman atau biasanya di singkat sebagai analisis SWOT.
Buku lainnya yaitu cerdik seperti ular yang diterbitkan oleh penerbit Kanisius. Dalam buku itu, kedua penulis memberikan pencarahan untuk bagaimana mengaplikasikan cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati. Dalam pengertian bahwa bagaimana seseorang bersikap yang tepat dengan menggunakan kecerdasan dan kekritisannya sehingga terhindar dari menjadi korban politik kantor. Dan tidak hanya itu saja, dalam buku itu juga menjelaskan bagaimana trik-trik cerdas atau strategi untuk menyiasati agar terhindar dari politik kantor, dan semua itu dilandasi oleh spirit kasih sebagaimana yang ada dalam Alkitab.
Sampai disini, telah penuliskan esensi deskripsi dari tiga buah buku yang bermanfaat bagi siapa saja, dan sekarang tibalah pada mengkaji titik temu antara ketiga buah literature itu. Dari masing-masing deskripsi tiga buah buku tersebut tampak bahwa karya Sun Tzu menitikberatkan pada menggunakan kecerdikan untuk menghindari diri dari kekerasan sedangkan manajemen strategi karya Prof Hendrawan Supramono adalah menggunakan trik mengecoh dan tetap menjaga strandar moral dan etika dalam memenangkan persaingan (kompetisi yang sehat). karya ketiga yaitu cerdik seperti ular yang mengajarkan bagaimana seseorang menjadi cerdik dan cerdas atau berpolitik kantor namun berbasiskan kasih. Lanjut bahwa apabila ketiga buku tersebut dicari benang merahnya akan ditemukan bahwa ketiga karya tersebut tidak dimaksudkan untuk tercebur dalam perilaku picik, licin dan hedonis melainkan bagaimana menggunakan trik-trik yang mampu memenangkan suatu kondisi tanpa harus menjadi picik, licin dan hedonis atau bahkan narsis. Atau dalam konkritnya adalah mengajarkan taktik-taktik yang cerdas namun tetap konsisten menjaga diri agar jangan keluar dari persaingan yang sehat atau etis, dan menurut penulis inilah esensi atau sejatinya dari seorang spiritualitas kapitalis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar