Jumat, 09 Maret 2012

Politik Tanpa Karakter


Politik pada awalnya diartikan sebagai kebijakan, namuan seiring berjalannya waktu bergeser menjadi cara atau strategi untuk mendapatkan kekuasaan. Bahkan ada yang mengartikan politik sebagai cara konkrit untuk mempertahankan kekuasaan. Berpijak pada definisi sebelumnya tampak bahwa politik itu netral saja karena hanya sebagai alat yang digunakan manusia untuk memperoleh kekuasaan, namun persepsi manusialah yang kadang-kadang menggunakan politik sebagai kendaraan untuk hal-hal yang melanggar etika kemanusiaan dan berakhir pada permainan kambing hitam.
Dalam pengertian bahwa politik digunakan untuk kepentingan-kepentingan standar-standar kemanusiaan dan berakhir terjebak dalam permainan memberhalakan seseorang saat ini dan tepat pada waktunya akan dijadikan korban untuk menutup kesalahan yang dilakukan, atau dalam ungkapan sehari-hari biasanya disebut mencari posisi aman. Oleh karena itu, tidak mengherankan saat ini studi-studi tentang etika menjadi mata kuliah wajib yang diberikan pada jenjang-jenjang pendidikan. Dan tidak hanya itu saja, politik yang mendehumanisasi kemanusiaan atau memperkosa kemanusiaan kian hari makin menjadi momok yang menjadi perhatian masyarakat.
Ulasan-ulasan di atas dipertajam dengan berbagai riset-riset yang membuktikan adanya politik yang diarahkan pada mendapatkan keuntungan maksimal untuk kepentingan diri sendiri dan kepentingan kelompok. Oleh karena itu, tidak mengherankan apabila Mahatma Gandhi mengungkapkan dengan tegas dan tepat bahwa politik tanpa prinsip hanya akan membawa konsekwensi tidak baik pada menusia. Dan hal ini sangat disetujui oleh penulis karena, pada prinsipnya politik itu sendiri merupakan alat untuk mensejahterakan manusia dan bukan kebalikannya.
Sampai di sini tampak bahwa ada kesalahan mengartikan politik sebagai alat, dan salah satu cara untuk mereduksinya adalah bagaimana menanamkan karakter sebagai landasan berpolitik. Nalarnya adalah bagaimana menananmkan karakter yang termanifestasi dalam nilai-nilai hidup supaya lebih arif dan arif dalam berpolitik. Dalam arti kata, boleh berpolitik tapi tidak meninggalkan hati nurani. Lebih spesifik lagi yaitu berpolitik nan cerdas dan bijak sehingga tidak menutup suara hati untuk peduli atau melakukan apa saja untuk memperoleh kekuasaan atau bahkan mempertahankan kekuasaan yang pada hakikatnya adalah bayangan dari narsisme atau cinta diri sendiri secara berlebihan.
Selain itu, menanamkan karkater sebagai landasan pacu berpolitik akan mampu mereduksi perilaku hedonis yang hanya mau mengejar bahagia sebesar-besar dan tidak sadar bahwa kebahagiaan itu bersifat semu dan semakin mengosongkan diri atau semakin menjauh dari fitrahnya. Lanjut bahwa berpolitik tanpa prisip juga sebenarnya merupakan manifestasi dari bagaimana citra diri dari orang yang berpolitik itu sendiri, apakah dirinya mampu peka dengan aspek kemausiaannya atau tidak? Dan semua itu hanyalah suatu perenungan yang mendalam untuk mampu melepaskan kebiasaan berpolitik tanpa karakter. Akhir kata, selamat berpolitik yang berlandaskan karakter sehingga sesuai dengan ungkapan cerdiklah seperti ular dan tulus seperti merpati, dan bukan berpolitik yang picik, licik dan licin dan berefek lanjutan pada kemerosotan aspek kemanusiaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar