Rabu, 07 Maret 2012

Meneropong Hati Nurani


Kadang-kadang apa yang kita lakukan tidak kita pahami akan konsekwensinya pada diri kita sendiri dan juga orang lain, dan hal ini di perburuk lagi dengan kemalasan untuk berpikir. Satu pertanyaan yang timbul adalah bagaimana kita mampu bercermin atau dalam bahasan ilmiahnya adalah melakukan perenungan mendalam terhadap apa yang sudah terjadi pada kehidupan kita. Dalam hal ini penulis bukannya mau sok tahu tentang refleksi diri karena penulis pun masih mempelajarinya, namun dilihat dari perspektif refleksi itu sendiri, tampak bahwa butuh adanya kejujuran yang sungguh-sungguh terhadap diri supaya mampu mengenal sejatinya. Lanjut bahwa, pemaknaan kejujuran sebagai poin sentral dimaksudkan sebagai titik tolak untuk mampu mmebenahi dan mengikis citra diri yang mengalami bias.
Ditinjau dari perspektif psikologi positif, konsep citra diri (self image) merupakan konsep sentral dalam pembahasan karena apa yang kamu pahami tentang dirimu maka itu pulalah yang menjadi totalitas perilakumu (you are what you think). Dalam arti kata bahwa konsep citra diri memainkan peran sentral karena mendeskripsikan keyakinannya yang merupakan faktor terdalam untuk membangun sikap positif. Dan keyakinan ini ibaratnya seperti gunung es, maksudnya adalah gunung es yang tempak merupakan perilakunya sedangkan bagian yang tak kelihatan atau bagian bawahnya adalah keyakinan yang membentuk perilaku itu sendiri. Sampai di sini tampak bahwa mengapa menurut hemat penulis bahwa kejujuran pada diri menjadi hal yang signifikan dan menjadi faktor sentral dalam melihat/meneropong hati nurani.
Ulasan sebelumnya dapat menjadi pertentangan apabila mengkaitkannya dengan konsep kecerdasan bahwa faktor hati (heart) merupakan salah satu kecerdasan bawaan manusia sehingga bukanlah menjadi kecerdasan tertinggi. Karena kecerdasan tertinggi adalah kecerdasan spiritual namun kecerdasan emosi atau heart merupakan bagian tak terpisahkan dan saling mendukung ketika seseorang hendak membangun sikap psoitif. Untuk itu, guna menghilangkan keambiguan ini, penulis menempatkan definisi hati nurani menurut penulis sendiri. Tepatnya hati nurani adalah unsur kefitraan diri yang menjadi pusat bagi pembentukan totalitas mata pikiran atau peta internal (paradigm).
Karena itu, guna mensinkronkan dengan judul tulisan ini, penulis mencoba memberi bobot utama pada pembentukan citra diri karena akan memudahkan dalam menerobos arti atau esensi dari hati nurani itu sendiri. Lebih jelasnya yaitu penulis menempatkan citra diri sebagai fokus sentral dalam meneropong atau bercermin hati nurani sehingga keyakinan menjadi faktor utama dalam mengaplikasikannya. Pengaplikasiannya akan lebih mudah, menimbang keyakinan merupakan titik tolak dari kemauan untuk bertingkah laku tertentu, yang mana dalam konteks tulisan ini yaitu merefkesi diri atau meneropong hati nurani.
Ditujukan untuk memperjelas, penggunaan keyakinan sebagai faktor sentral akan mendorong pemahaman yang lebih mudah dan terarah pada menyadari siapakah aku yang termanifestasi dalam perbuatan refleksi diri. Lanjut bahwa hal ini menurut penulis berperan dalam usaha seseorang untuk mengikis atau mereduksi keyakinan-keyakiann negatif tentang konsep diri. konkritnya adalah melalui perenungan yang mendalam, seseorang akan berusaha untuk mengamati dan menyadari keyakinan-keyakinannya yang menghambat kemajuan dirinya dalam melakukan eksistensinya dalam kehidupan sehari-hari sepanjang siklus hidupnya.
Terkait cara konkrit yang dapat digunakan adalah bagaimana seseorang perlu terlebih dahulu untuk menyadari keyakinannya, dan ha ini dapat termanifestasi dalam bagaimana mengamati pikiran itu sendiri dalam berbagai perubahan. Dalam hal ini, penulis tidak mau menggunakan cara berpikir Buddha yang bertujuan sadar atas semua pikiran atau biasanya disebut meditasi. Melainkan penulis mencoba memposisikan pengamatan diri dari bagaimana kita merespon pikiran yang silih berganti dengan tetap melatih diri untuk membangun keyakinan positif menggunakan pengulangan kata-kata positif guna terarah pada pikiran bawah sadar. Sekali lagi bahwa hal ini masih menggunakan perspektif  psikologi positif sebagai landasan atau kerangka berpikir.
Tidak sampai di situ saja, aplikasi cara yang dijelaskan sebelumnya tetap masih dapat dikombinasi dengan cara yang biasanya dilakukan oleh penganut Buddha yaitu meditas. Karena bagaimana pun meditas merupakan salah satu cara yang dapat digunakan untuk melatih kesadaran dan fokus. Dan apabila dikombinasi, hasilnya adalah bagaimana seseorang memposisikan dirinya menjadi gabungan pikiran sadar dan fokus lewat meditasi untuk melihat bagaimana keyakinan-keyakinan kita dapat berganti dengan mudah. Dan melalui kesadaran untuk hanya mengamati saja dan melakukan afirmatis diri, orang tersebut dapat lebih damai karena pada hakikatnya dirinya sudah satu langkah maju ketika mampu mengamati keyakinan-keyakinannya. Setelah mampu mengamati keyakinan-keyakinannya, langkah selanjutnya adalah bagaimana orang tersebut mempertahankannya dengan disiplin mengafirmatif diri dan melakukan latihan fokus secara berkesinambungan. Dengan demikian, silahkan meneropong hati nurani melalui pembentukan keyakinan positif sebagai faktor sentral. Semoga berhasil….

Tidak ada komentar:

Posting Komentar