Selasa, 15 Mei 2012

Semangat Kerja Tinggi Pemicu Output Memuaskan


Berkarya dengan sukacita merupakan hal yang wajib dilakukan oleh siapa saja. Karena hanya orang yang bersuakcita dalam bekerja  bertendensi memiliki output yang maksimal. Lnajut, turunan dari sukacita adalah semangat kerja yang tinggi dan hal ini akan membuat pekerjaan terasa begitu menyenangkan dan dijauhi dari bersungut-sungut ketika bekerja. Oleh karena itu, dalam tulisan singkat ini akan ditujukan pada membangun semangat dan bagaimana mempertahankan semangat kerja yang tinggi. Dan langkah pertamanya adalah mendefinisikan konsep semangat dengan jelas. Menimbang tanpa kejelasan konsep akan sangat sulit untuk memahaminya.
Konsep semangat memiliki differentia specifica yaitu kekuatan yang menyala-nyala dalam batin untuk mewujudkan tujuan. Berpijak pada definisi tersebut tampak bahwa semangat merupakan faktor yang sangat berpengaruh pada pencapaian prestasi. Dan hal yang sama juga pada konteks kerja, dimana orang perlu bersemangat tinggi sehingga tantangan akan menjadi suatu hal yang menyenangkan. Tidak hanya itu saja, berpijak pada definisi tersebut, tampak juga bahwa semangat berperan untuk memicu keyakinan positif dalam bekerja. Maksudnya adalah orang yang memiliki semangat tinggi dalam berkarya akan memiliki efikasi diri yang bagus sehingga tidak gentar terhadap perubahan serta tantangan dan rintangan dalam bekerja.
Apabila dibedah dari perspektif motivasi maka semangat kerja sangat penting untuk kesuksesan pekerjaan, karena esensi utama dari motivasi adalah semangat. Konkritnya adalah orang yang bersemangat tinggi akan mencurahkan daya upaya yang benar-benar tulus sehingga prestasi bagus menjadi suatu hal yang tak dapat ditawar-tawar lagi. Perhatikan saja orang yang sedang bekerja, apabila dirinya memiliki semangat tinggi maka etos kerjanya akan terpancar antusias yang tinggi pula. Dan hal ini begitu sangat luar biasa karena bukan hanya orang tersebut yang akan memanen hasil baik melainkan organisasi sebagai tempat bekerja juga memperoleh kinerja yang baik. Oleh karena itu tidak mengherankan apabila saat ini organisasi dalam mencari pekerja bertendensi memasukkan semangat atau spirit kerja sebagai salah satu faktor penentu penilaian.
Selanjutnya adalah bagaimana memicu semangat kerja tinggi serta bagaimana mempertahankan semangat kerja tinggi dan juga meningkatkannya? Untuk menjawab pertanyaan tersebut, penulis akan mengarahkannya menggunakan perspektif psikologi positif. Namun sebelum itu perlu diketahui dulu tentang arti dari psikologi positif. Arti dari psikologi positif adalah cabang dari ilmu psikologi yang mengkaji faktor-faktor relevan dalam mempengaruhi perilaku orang, dan dalam menentukan faktor yang relevan didahului dengan pengujian ilmiah yang tepat dan berulang kali. Merujuk dari definisi tersebut, tidak mengherankan apabila faktor semangat menjadi salah satu faktor penentu, hanya saja faktor semangat merupakan faktor yang implisit karena menjadi terkategori dalam efikasi diri. Untuk itu, pembedahan semangat kerja dalam tulisan ini juga tidak akan terlepas dari efikasi diri yang pada abad 21 ini menjadi magnet bagi akdemisi dan praktisi.
Tepatnya tentang memicu semangat kerja, perlu adanya pemahaman tentang bagaimana pola perilaku dari orang yang bersangkutan. Dan untuk mengetahuinya, kajian tentang sistem keyakinan (believe system) menjadi tak terpisahkan. Menimbang bahwa sistem keyakinan akan sangat menentukan proses internalisasi seseorang. Dan hal ini akan berpengaruh pada semangat seseorang. Nalarnya adalah ketika sistem keyakinan orang dibentuk berdasarkan masukan positif maka keluarannya juga akan positif pula. Konkritnya adalah ketika seseorang berkeyakinan bahwa dirinya mampu dan mempelajari kemampuan serta kekurangannya dengan jelas maka akan memicu semangat kerja yang tinggi. Oleh karena itu, untuk menimbulkan semangat yang tinggi, perlu membangun dan memiliki keyakinan positif terlebih dahulu.
Terkait bagaimana mempertahankan serta meningkatkan semangat kerja yang tinggi, perlu diketahui terlebih dahulu tentang seni mempertahankan keyakinan positif secara berkelanjutan. Dan untuk itu, berpikir positif merupakan input utama untuk mempertahankan semangat kerja yang tinggi. Lebih spesifiknya yaitu orang yang tetap berusaha berpikir positif akan mempengaruhi jaringan neuron dalam batok kepala sehingga memicu perilaku yang positif juga, dan salah satu dari perilaku positif yaitu “semangat kerja yang tinggi”. Oleh karena itu, ketika melihat ada beberapa pekerja yang memiliki semangat kerja tinggi maka mereka akan tampak begitu antusias dan aurora tubuh mereka begitu damai, tentram, dan sukacita. Hal yang sama juga pada pekerja yang kurang bersemangat maka aurora tubuh mereka akan terlihat kurang tentram, damai dan sukacita. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa untuk memiliki semangat kerja yang tinggi senantiasa diawali dari cara berpikir seseorang. Dan cara berpikir yang dimaksud yaitu berpikir positif. Dengan kata lain, semangat kerja tinggi atau rendah senantiasa diawali dari dalam kepala seseorang.

Psikologi Keuangan 3


Pada tulisan sebelumnya telah dibahas tiga jenis perangkap emosi yang mengarahkan pada perilaku menyimpang. Pada bagian ini akan dibahas tentang jenis bias-bias yang membentuk keyakinan investor. Namun karena bias-bias ini relatif cukup banyak, maka dalam tulisan ini hanya akan memfokuskan pada overconfidence, availability bias, representativenenss bias dan confirmation bias. Bias pertama adalah overconfidence. Bias ini adalah kesalahan investor dalam meyakini kemampuan analisisnya yang mengarah pada prediksi yang keliru. Aplikasi dari bias ini adalah investor cenderung merasa bahwa analisis yang menjadi dasar keputusan transaksinya telah benar walaupun tidaklah demikian.
Efek lanjutan dari bias ini adalah investor akan bertransaksi berlebihan karena menyangka keputusannya benar. Hal ini akan berakibat pada meningkatnya biaya transaksi termasuk kalkulasi pajaknya sehingga peluang memperoleh keuntungan akan nihil atau bahkan mengalami kerugian. Dan bukan itu saja, investor yang overconfidence juga meyakini bahwa dirinya akan berhasil mengalahkan pasar karena secara kebetulan keputusan transaksinya berhasil memperoleh return. Efek lainnya dari investor yang overconfidence adalah meningatkan kebodohan dalam melakukan analsis sehingga sulit untuk mau belajar dari pengalaman dan memperbaikirnya di masa mendatang.
Terkait bias kedua yaitu availability bias. Bias ini akan mendorong investor untuk membuat keputusan berdasarkan apa yang diingatnya sehingga tidak menyeluruh dalam melakukan analisis untuk membuat keputusan keuangan. Contoh konkrit dari bias ini adalah bagaimana para pekerja akan lebih mempercayai dan membeli saham-saham dari perusahaan tempat mereka bekerja karena berkeyakinan bahwa mereka lebih tahu dan sudah familiar dengan perusahaan tersebut. Efek dari bias ini adalah ketika perusahaan tempat mereka bekerja mengalami hal-hal yang tidak diinginkan maka mereka berpeluang mengalami kerugian. Dalam pengertian bahwa mereka cenderung tidak melakukan diversifikasi dan melakukan analisis yang dangkal sehingga tujuan awal untuk mmeperoleh keuntungan akan menjadi sia-sia. Bias ini juga tampak dari keputusan investor untuk tidak mau melakukan divesifikasi global dan cenderung mempercayai saham-saham dalam negeri karena familiar dan mudah diingat.
Bias selanjutnya adalah representativeness bias. Bias ini diartikan sebagai investor membut keputusan berdasarkan pemikiran stereotip. Maksudnya adalah investor akan membuat keputusan transaksi berpijak pada pengalaman masa lalu dan juga yang sesuai dengan gambaran mentalnya. Konkritnya dari bias ini adalah investor cendrung melihat trend harga sebagai panduan untuk membuat keputusan investasi. Ketika trend harga meningkat maka investor akan meyakini bahwa saham tersebut baik, dan juga sebaliknya. Contoh lainnya dari bias ini adalah bagaimana investor membuat keputusan keuangan berdasarkan analogi yang keliru. Maksudnya adalah ketika investor mengamati sebuah harga saham perusahaan yang sedang menunjukkan trend meningkat maka investor akan berkesimpulan bahwa perusahaan tersebut adalah perusahaan bagus.
Dengan kata lain, investor menganggap perusahaan bagus sebagai investasi bagus, walaupun pada esensinya bahwa kedua hal tersebut berbeda. Lanjut bahwa perusahaan bagus tidak senantiasa memiliki harga saham tinggi sedangkan investasi bagus relatif menunjukkan harga yang menarik. Spesifiknya yaitu investor terkecoh dalam mengartikan harga saham bahwa harga saham tinggi senantiasa mencerminkan kinerja fundamental perusahaan, walaupun pada kenyataannya tidaklah demikian karena harga saham juga bertendensi terbentuk karena persepsi investor.
Bias terakhir yaitu confirmation bias. Bias ini didefinisikan sebagai tendensi investor untuk hanya meyakini pendapatnya sebagai benar dan cenderung berusaha mencari dukungan akan pendapatnya itu. Implikasi dalam pasar saham adalah investor akan menolak nasihat atau pun infomasi yang bertentangan dengan pendapatnya, dan hal ini dapat saja merugikan karena belum tentu benar apa yang diyakini investor. Lanjutannya adalah investor akan dengan tegas menolak saran investasi apa pun dan berakhir pada melakukan analisis yang bias dan termanifestasi dalam keputusan transaksi yang tidak mengarah pada perolehan return melainkan pada peningkatan risiko.
Sehubungan dengan ulasan sebelumnya, langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk menghindari bias-bias ini adalah gunakan akal sehat untuk membuat keputusan transaksi dan jangan terburu-buru atau terlalu cepat membuat keputusan transaksi, melainkan analisislah secara mendalam dan gunakanlah informasi yang relevan. Akhir kata, selamat berinvestasi saham dan semoga saja anda berhasil memperoleh return investasi.

Psikologi Keuangan 2


Investasi saham merupakan salah satu cara akumulasi aset keuangan. Maksud dari aset keuangan adalah sesuatu yang anda miliki akan mendatang arus kas masuk. Berpijak pada definisi aset sebelumnya tampak bahwa analisis yang tajam dan kemampuan mengontrol emosi menjadi syarat mutlak untuk dibenahi dan ditingkatkan. Untuk itu investor perlu memahami perangkap-perangkap emosi dan juga berbagai bias-bias yang akan mengarahkan pada penyimpangan risiko. Dalam tulisan ini akan memfokuskan pada perangkap-perangkap emosi sedangkan bias-bias akan dibedah pada tulisan berikutnya.
Perangkap emosi pertama yang perlu dipertimbangkan adalah kesombongan (pride). Bias emosi ini akan mengarahkan pada perilaku investor untuk mengakui dirinya lebih cerdas dari yang sebenarnya dan berefek pada ketidamauan untuk mengakui kesalahan. Hal ini akan membuat investor meyakini bahwa keputusan transasksi yang dibuatnya telah tepat, dan apabila terbukti salah maka investor yang memiliki sifat sombong tidak akan mengakuinya dan relatif akan mengulang lagi di masa mendatang.
Selain itu, perilaku investor yang didorong oleh kesombongan akan merasa mampu mengalahkan pasar walaupun pada kenyataannya tidaklah demikian. Satu hal yang tidak dipahami bahwa pasar tak dapat dikontrol, oleh karena itu yang perlu dikontrol adalah diri sendiri. Dan hal ini relatif sulit namun tetap dapat dilakukan karena untuk mengalahkan diri sendiri membutuhkan niat yang teguh dan konsisten. Perangkap emosi kedua adalah ketamakan (greed). Bias emosi ini sangat berbahaya, karena perilaku investor yang termanifestasi dalam keputusan transaksi bertendensi hanya berdasarkan niat untuk mendapatkan return yang tinggi dan mengabaikan risiko. Nalarnya adalah investor yang terdorong oleh ketamakan akan membuat keputusan keuangan berbasiskan pertimbangan untuk melihat harga yang tinggi karena menyangka bahwa harga yang tinggi menunjukkan investasi yang menguntungkan.
Bentuk lainnya dari ketamakan investor adalah perilakunya yang mendorong gelembung pasar. Penjelasannya adalah ketika investor melihat pasar saham lagi tinggi-tingginya bukannya waspada akan bantingan pasar melainkan ikut mendorong pasar melalui tindakan membeli sehingga pasar akan semakin menggelembung dan ketika tiba pada waktunya pasar berbalik arah maka kerugian pun akan terjadi. Mengapa, karena investor yang didorong oleh ketamakan berpeluang membalikkan the golden rule dari investasi saham yaitu beli murah dan jual mahal. Lanjutan dari ketamakan ini adakah yang disebut sebagai ketakutan (fear).
Investor yang didorong oleh ketakutan akan benar-benar merasa khawatir atas kejatuhan pasar atau penurunan harga saham dan segera mengambil posisi jual. Dengan mengambil posisi jual akan semakin memperburuk keadaan. Karena sekali lagi membalikkan the golden rule yaitu jual mahal dan beli murah. Lanjut bahwa ketakutan ini akan semakin menjadi-menjadi karena biasanya investor yang mengalami ketakutan (fear) juga bertendensi mengalami kesombongan dan ketamakan (greed). Kombinasi dari ketiga bias emosi ini akan mengakibatkan investor gagal belajar dari pengalamannya dan akan mengulang lagi siklus yang sama yaitu perilaku yang didorong oleh kesombongan serta ketamakan dan berakhir pada ketakutan. Dalam konkritnya hanya akan menghasilkan kerugian namun tak pernah mau belajar dari pengalaman mengalami kerugian tersebut.
Ditujukan untuk mereduksi atau mengurangi terperangkap dalam jebakan emosi (pride, greed, and fear), investor perlu berlatih untuk berdisiplin dan meningkatkan kecerdasan emosi. Karena pengendalian diri dan cerdas mengelola emosi maka investor relatif terhindar dari kerugian. Akhir kata, penulis mengutip nasihat indah dari sang Maestro Warrent Buffet bahwa ketika pasar sedang dipenuhi kesombongan dan kebanggaan maka bersiap-siaplah mengambil posisi menjual dan ketika pasar sedang dipenuhi ketakutan maka bersiap-siaplah mengambil posisi membeli.

Psikologi Keuangan 1


Ilmu keuangan atau manajemen keuangan berpijak pada asumsi rasionalitas, dimana para pelakunya akan bertindak rasional dan mampu mengoptimalkan cognitive ability untuk membuat keputusan keuangan yang tepat sasaran. Hal ini berimplikasi pada terdorongnya para pakar-pakar keuangan untuk menemukan alat-alat yang dapat membantu dalam membuat pertimbangan yang logis alias rasional, dan hal ini pun terus bertahan hingga beberapa ahli keuangan mengamati perilaku fakta pembuat keputusan keuangan dan mencoba membuat terobosan dengan menggunakan perspektif yang berbeda, yaitu dari perspektif normatif menuju positif.
Hasilnya pun menjadi berbeda, dengan menggunakan ilmu psikologi tepatnya psikologi cognitif maka terbentuklah keuangan berbasis perilaku atau psikologi keuangan. Psikologi keuangan berdiri di atas premis bahwa pembuat keputusan keuangan tidak sepenuhnya rasional, dalam pengertian bahwa terdapat keterbatasan rasionalitas yang menyebabkan pembuat keputusan keuangan (decision maker) mengalami kekeliruan. Dan bukan hanya itu saja, psikologi keuangan juga memasukkan faktor-faktor emosi yang mengarahkan pada perilaku yang bias. Oleh karena itu, psikologi keuangan diartikan sebagai kajian atau studi tentang perilaku yang bias disebabkan adanya keterbatasan kemampuan berpikir dan kelemahan emosi.
Lanjut bahwa kehadiran psikologi keuangan mendapatkan respon yang positif dan terbukti dari melimpahnya panelitian-penelitian atau riset-riset yang membuktikan bahwa perilaku investor tidak rasional atau bahkan jauh dari rasional. Beberapa peneliti ternama dalam psikologi keuangan diantaranya adalah Barber, Nofsinger, Rabin, Shefrin, Pompian dan masih banyak lagi. Kisah selanjutnya adalah psikologi keuangan pun semacam menjadi magnet bagi peneliti-peneliti keuangan di berbagai negara-negara barat dan tak terkecuali juga Indonesia untuk mengkaji lebih mendalam tentang psikologi keuangan atau keuangan berbasis perilaku.
Bahkan salah satu peneliti ternama psikologi keuangan, Jhon Nofsinger dan Kenneth Kim di tahun 2008 pernah memuat riset berjudul Behavioral finance in Asia di jurnal internasional yang bernama Pacific-Basin Finance Journal dan berlabel Elsevier. Dalam risetnya itu, kedua peneliti mengungkapkan bahwa ruang lingkup psikologi keuangan atau keuangan berbasis perilaku perlu diperluas cakupannya. Maksudnya adalah penelitian-penelitian psikologi keuangan perlu dilakukan di negara-negara asia, menimbang adanya perbedaan budaya antara budaya Eropa-Amerika dan Asia.
Hal ini tentu saja mengundang daya tarik tersendiri bagi peneliti-peneliti Asia dan Eropa-Amerika karena selain ingin membuktikan representatif keabsahan psikologi keuangan, mereka juga ingin mengetahui bagaimana tarik menarik antara psikologi keuangan apabila di warnai dengan faktor budaya, terkhusunya budaya asia. Hal itu dilakukan menimbang bahwa asumsi psikologi keuangan yaitu adanya keterbatasan cognitive ability dan emosi. Maksudnya yaitu apakah orang-orang di asia juga mengalami hal yang sama? Namun hal itu memang ada indikasi ke arah itu karena hasil riset yang dilakukan Chen, Kim dan Nofsinger (2007) berjudul Trading Performance, Disposition Effect, Overconfidence, Representativeness Bias, and Experience of Emerging Market Investors di Journal of Behavioral Decision Making J. Behav. Dec. Making telah membuktikan bahwa investor asia juga bertendensi mengalami overconfidence, representativeness bias dan disposition effect. Dengan demikian, silahkan melakukan riset terkait psikologi keuangan atau keuangan berbasis perilaku di Indonesia. Atau dengan kata lain yaitu jadilah pemain dalam kemajuan psikologi keuangan, dengan cara melakukan riset-riset tentang keuangan berbasis perilaku di Indonesia.