Selasa, 15 Mei 2012

Psikologi Keuangan 1


Ilmu keuangan atau manajemen keuangan berpijak pada asumsi rasionalitas, dimana para pelakunya akan bertindak rasional dan mampu mengoptimalkan cognitive ability untuk membuat keputusan keuangan yang tepat sasaran. Hal ini berimplikasi pada terdorongnya para pakar-pakar keuangan untuk menemukan alat-alat yang dapat membantu dalam membuat pertimbangan yang logis alias rasional, dan hal ini pun terus bertahan hingga beberapa ahli keuangan mengamati perilaku fakta pembuat keputusan keuangan dan mencoba membuat terobosan dengan menggunakan perspektif yang berbeda, yaitu dari perspektif normatif menuju positif.
Hasilnya pun menjadi berbeda, dengan menggunakan ilmu psikologi tepatnya psikologi cognitif maka terbentuklah keuangan berbasis perilaku atau psikologi keuangan. Psikologi keuangan berdiri di atas premis bahwa pembuat keputusan keuangan tidak sepenuhnya rasional, dalam pengertian bahwa terdapat keterbatasan rasionalitas yang menyebabkan pembuat keputusan keuangan (decision maker) mengalami kekeliruan. Dan bukan hanya itu saja, psikologi keuangan juga memasukkan faktor-faktor emosi yang mengarahkan pada perilaku yang bias. Oleh karena itu, psikologi keuangan diartikan sebagai kajian atau studi tentang perilaku yang bias disebabkan adanya keterbatasan kemampuan berpikir dan kelemahan emosi.
Lanjut bahwa kehadiran psikologi keuangan mendapatkan respon yang positif dan terbukti dari melimpahnya panelitian-penelitian atau riset-riset yang membuktikan bahwa perilaku investor tidak rasional atau bahkan jauh dari rasional. Beberapa peneliti ternama dalam psikologi keuangan diantaranya adalah Barber, Nofsinger, Rabin, Shefrin, Pompian dan masih banyak lagi. Kisah selanjutnya adalah psikologi keuangan pun semacam menjadi magnet bagi peneliti-peneliti keuangan di berbagai negara-negara barat dan tak terkecuali juga Indonesia untuk mengkaji lebih mendalam tentang psikologi keuangan atau keuangan berbasis perilaku.
Bahkan salah satu peneliti ternama psikologi keuangan, Jhon Nofsinger dan Kenneth Kim di tahun 2008 pernah memuat riset berjudul Behavioral finance in Asia di jurnal internasional yang bernama Pacific-Basin Finance Journal dan berlabel Elsevier. Dalam risetnya itu, kedua peneliti mengungkapkan bahwa ruang lingkup psikologi keuangan atau keuangan berbasis perilaku perlu diperluas cakupannya. Maksudnya adalah penelitian-penelitian psikologi keuangan perlu dilakukan di negara-negara asia, menimbang adanya perbedaan budaya antara budaya Eropa-Amerika dan Asia.
Hal ini tentu saja mengundang daya tarik tersendiri bagi peneliti-peneliti Asia dan Eropa-Amerika karena selain ingin membuktikan representatif keabsahan psikologi keuangan, mereka juga ingin mengetahui bagaimana tarik menarik antara psikologi keuangan apabila di warnai dengan faktor budaya, terkhusunya budaya asia. Hal itu dilakukan menimbang bahwa asumsi psikologi keuangan yaitu adanya keterbatasan cognitive ability dan emosi. Maksudnya yaitu apakah orang-orang di asia juga mengalami hal yang sama? Namun hal itu memang ada indikasi ke arah itu karena hasil riset yang dilakukan Chen, Kim dan Nofsinger (2007) berjudul Trading Performance, Disposition Effect, Overconfidence, Representativeness Bias, and Experience of Emerging Market Investors di Journal of Behavioral Decision Making J. Behav. Dec. Making telah membuktikan bahwa investor asia juga bertendensi mengalami overconfidence, representativeness bias dan disposition effect. Dengan demikian, silahkan melakukan riset terkait psikologi keuangan atau keuangan berbasis perilaku di Indonesia. Atau dengan kata lain yaitu jadilah pemain dalam kemajuan psikologi keuangan, dengan cara melakukan riset-riset tentang keuangan berbasis perilaku di Indonesia.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar