Ilmu keuangan
atau manajemen keuangan berpijak pada asumsi rasionalitas, dimana para
pelakunya akan bertindak rasional dan mampu mengoptimalkan cognitive ability untuk membuat keputusan keuangan yang tepat
sasaran. Hal ini berimplikasi pada terdorongnya para pakar-pakar keuangan untuk
menemukan alat-alat yang dapat membantu dalam membuat pertimbangan yang logis
alias rasional, dan hal ini pun terus bertahan hingga beberapa ahli keuangan
mengamati perilaku fakta pembuat keputusan keuangan dan mencoba membuat
terobosan dengan menggunakan perspektif yang berbeda, yaitu dari perspektif normatif
menuju positif.
Hasilnya pun
menjadi berbeda, dengan menggunakan ilmu psikologi tepatnya psikologi cognitif
maka terbentuklah keuangan berbasis perilaku atau psikologi keuangan. Psikologi
keuangan berdiri di atas premis bahwa pembuat keputusan keuangan tidak
sepenuhnya rasional, dalam pengertian bahwa terdapat keterbatasan rasionalitas yang
menyebabkan pembuat keputusan keuangan (decision
maker) mengalami kekeliruan. Dan bukan hanya itu saja, psikologi keuangan
juga memasukkan faktor-faktor emosi yang mengarahkan pada perilaku yang bias.
Oleh karena itu, psikologi keuangan diartikan sebagai kajian atau studi tentang
perilaku yang bias disebabkan adanya keterbatasan kemampuan berpikir dan
kelemahan emosi.
Lanjut bahwa
kehadiran psikologi keuangan mendapatkan respon yang positif dan terbukti dari
melimpahnya panelitian-penelitian atau riset-riset yang membuktikan bahwa
perilaku investor tidak rasional atau bahkan jauh dari rasional. Beberapa
peneliti ternama dalam psikologi keuangan diantaranya adalah Barber, Nofsinger,
Rabin, Shefrin, Pompian dan masih banyak lagi. Kisah selanjutnya adalah
psikologi keuangan pun semacam menjadi magnet bagi peneliti-peneliti keuangan di
berbagai negara-negara barat dan tak terkecuali juga Indonesia untuk mengkaji
lebih mendalam tentang psikologi keuangan atau keuangan berbasis perilaku.
Bahkan salah
satu peneliti ternama psikologi keuangan, Jhon Nofsinger dan Kenneth Kim di
tahun 2008 pernah memuat riset berjudul Behavioral finance in Asia di
jurnal internasional yang bernama Pacific-Basin
Finance Journal dan berlabel
Elsevier. Dalam risetnya itu, kedua peneliti mengungkapkan bahwa ruang lingkup
psikologi keuangan atau keuangan berbasis perilaku perlu diperluas cakupannya.
Maksudnya adalah penelitian-penelitian psikologi keuangan perlu dilakukan di
negara-negara asia, menimbang adanya perbedaan budaya antara budaya
Eropa-Amerika dan Asia.
Hal ini tentu
saja mengundang daya tarik tersendiri bagi peneliti-peneliti Asia dan
Eropa-Amerika karena selain ingin membuktikan representatif keabsahan psikologi
keuangan, mereka juga ingin mengetahui bagaimana tarik menarik antara psikologi
keuangan apabila di warnai dengan faktor budaya, terkhusunya budaya asia. Hal
itu dilakukan menimbang bahwa asumsi psikologi keuangan yaitu adanya
keterbatasan cognitive ability dan
emosi. Maksudnya yaitu apakah orang-orang di asia juga mengalami hal yang sama?
Namun hal itu memang ada indikasi ke arah itu karena hasil riset yang dilakukan
Chen, Kim dan Nofsinger (2007) berjudul Trading Performance, Disposition Effect, Overconfidence, Representativeness
Bias, and Experience of Emerging Market Investors
di Journal of Behavioral Decision Making J. Behav. Dec.
Making telah membuktikan bahwa investor asia
juga bertendensi mengalami overconfidence,
representativeness bias dan disposition effect. Dengan
demikian, silahkan melakukan riset terkait psikologi keuangan atau keuangan
berbasis perilaku di Indonesia. Atau dengan kata lain yaitu jadilah pemain dalam
kemajuan psikologi keuangan, dengan cara melakukan riset-riset tentang keuangan
berbasis perilaku di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar