Wah anakku
dapat rangking 1 di kelasnya, sudah pasti dia itu anak yang pintar dan kelak
pasti akan menjadi manusia yang berguna bagi nusa dan bangsa. Kira-kira seperti
itulah deskripsi dari stereotip masyarakat luas tentang penilaian pintarnya
seseorang. Namun menurut penulis hal itu tidak selamanya terjadi karena orang
pintar biasanya berpikir lurus atau dalam bahasa ilmiahnya adalah vertical
thinking. Sehubungan dengan judul tulisan ini maka orang yang dianggap pintar
seringkali tak mampu berpikir lepas dari kungkungan cara berpikirnya sehingga
dalam memecahkan masalah dalam dunia nyata seringkali kelabakan alias
kebingungan.
Spesifiknya
yaitu seringkali orang yang pintar tidak mampu melakukan horizontal thinking
atau berani dari keluar dari pola atau kebiasaan berpikirnya. Selain itu juga,
kecerdasan memiliki beragam nilai seperti berbagai kercadasan yang baru-baru
ini ditemukan, diantaranya adalah kecerdasan spiritual, emosi dan lain-lainnya.
Sampai di sini tampak dengan jelas bahwa tidak ada yang namanya pintar dalam
spiritual dan lainnya sehingga penulis menyimpulkan bahwa orang pintar tidak
selamanya akan menjadi manusia berguna bagi nusa dan bangsa melainkan yang
dibutuhkan adalah orang yang cerdas.
Ulasan
sebelumnya dipertegas lagi dengan konsep pendidikan karakter yang bertujuan
untuk menciptakan manusia-manusia yang cerdas baik dalam spiritual, emosi,
intelektual, sosial, motorik dan lainnya. Menimbang bahwa pendidikan sebelumnya
lebih menitik beratkan padaaspek kepintaran sehingga tidak tejadi keseimbangan
dalam totalitas manusia, seperti memiliki ijasah yang sangat banyak jumlahnya
namun sama sekali tidak diarahkan pada pembangunan dan pemberdayaan. Dengan
kata lain, tidak mampu menggunakan kepintarannya untuk menjalankan visi
hidupnya sehingga sangat mudah terombang-ambing dalam lautan kehidupan. Untuk
contoh konkritnya dapat pembaca telusuri saja dalam kehidupan keseharian
pembaca, entah dalam media masa, media elektronik atau lain-lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar