Sabtu, 24 September 2011

Antara Aku, Dia, Mereka, dan Kita


Kata aku menunjukkan pada diri sendiri, dia merujuk pada orang ketiga, mereka merujuk pada dia dengan yang lainnya, dan kita merujuk pada pronominal persona pertama jamak. Berpijak pada arti ke empat kata tersebut diketahui bahwa terdapat hubungan yang erat antara semua itu. Hal ini didasari alasan bahwa sebagai makluk sosial maka seseorang diharapkan mampu mencakup dari ke empat kata yaitu aku, dia, mereka dan bermuara pada kita.
Lebih lanjut, mengapa kata kita penulis menempatkannya pada urutan terakhir karena kata “kita” merupakan ungkapan yang berkaitan erat dengan kekitaan. Kekitaan dalam kamus besar bahasa Indonesia memiliki 4 arti. Pertama, yang bersifat atau berciri kita, kesatuan perasaan antara kita. Ketiga, sifat mementingkan kebersamaan dalam menanggung suka duka (saling membantu, saling menolong, dsb).
Terkait ulasan di atas, penulis melihat bahwa sebagai manusia yang tak bisa hidup sendiri dan membutuhkan orang lain maka tak salah jika paradigma aku, dia, dan mereka diganti kita. Logikanya adalah kesadaran bahwa semua manusia itu adalah serupa dengan gambar Allah (imagodei) maka sudah selayaknya manusia juga tidak mementingkan dirinya sendiri. Dengan kata lain, manusia hendaknya memahami bahwa prinsip keadilan dalam hidup perlu dilakukan, dan untuk melakukannya maka seseorang perlu mengganti paradigmanya.
Merubah paradigma yang dimaksud adalah seseorang mampu melakukan refleksi diri untuk menjawab persoalan “siapakan aku dan untuk apa aku hidup, apa yang bisa aku lakukan sehingga hidupku lebih bermakna, dsb”. Lebih lanjut, setelah mampu menjawab persoalan tersebut maka akan lebih mungkin untuk mengganti paradigma, dan akan tercermin dalam perilaku sehari-hari. Lebih spesifiknya, dengan menjawab siapakah aku, maka dapat dikatakan telah mengalami perubahan dari seekor rajawali yang menyangka dirinya sebagai seekor ayam menjadi rajawali perkasa yang menyukai tantangan, perubahan, pemberdayaan diri, integritas, akuntabilitas dan sikap positif lainnya.
Ditujukan untuk memperjelas, bahwa dalam proses refleksi diri atau perenungan yang mendalam maka seseorang dituntut untuk mampu bersabar melewati detik demi detik karena seperti yang diketahui bahwa tak ada yang instan (taken from granted) sehingga pengorbanan harus dilakukan dan kemenangan pun akan diraih. Seperti kata Mahatma Gandhi bahwa kemenangan sejati bukan pada tercapainya pada suatu tujuan, melainkan pada proses mencapainya. Dengan demikian, proses memahami kata “kita” merupakan suatu proses yang tidak berkesudahan, atau menurut Gabriel Marcel, seorang tokoh filsafat eksistensialisme bahwa proses menjadi kita merupakan suatu tindakan yang berbasis pada kerinduan akan sang pencipta dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari berupa perbuatan kasih kepada sesama dan saling menghargai sesama.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar