Rabu, 05 September 2012

Aku Memberi Tak Berharap Kembali


Untuk beberapa orang, uang dipuja-puja dan menjadi simbol hegemoni seseorang, tapi juga bagi beberapa orang uang hanyalah alat tukar semata dan tidak menentukan kebahagiaan sejati manusia. Dalam tulisan ini lebih difokuskan pada kesediaan dan kerelaan untuk tidak memuja uang sebagai penentu kebehagiaan, atau dalam bahasa yang lebih keras yaitu tidak diarahkan pada mendewakan uang atau memberhalakan uang. Untuk itu pada pemaparan selanjutnya akan mengkaji peranan uang dalam keterkaitannya dengan orang lain.
Sebagai manusia yang memiliki kesadaran moral, seringkali diperhadapkan pada siatuasi dimana orang lain mengalami kesulitan namun sikap tidak peduli telah menghambat perilaku untuk menolong. Atau pun kalau menolong biasanya disertai dengan embel-embel seperti aku berharap akan dikembalikan, membantu tapi ada udang dibalik batu dan lain-lainnya. Lanjut bahwa perilaku seperti itu biasanya membuat hidup orang yang memberi tapi ada udang di balik batu akan mengalami kekeringan karena tidak memiliki kepekaan spiritual bahwa anda, mereka dan yang lainnya adalah manusia seperti anda juga.
Yah mungkin saja, untaia kalimat-kalimat sebelumnya tampak abstrak dan kurang relevan dengan jaman yang individual serta hedonis. Penulis mengakui bahwa penulis bukanlah pakar dalam bidang keagamaan serta spiritualitas manusia, namun sepengetahuan penulis bahwa membantu orang lain merupakan suatu kewajiban yang diajarkan oleh semua agama. Dan hal ini memang relevan karena tidak membuat kita menjadi egois dan lupa diri. Selain itu, dari perspektif ilmu juga memberi atau membantu orang lain merupakan suatu kebenaran yang patut dilakukan oleh siapa saja.
Terkait ilmu itulah saat ini telah terbukti secara ilmiah, tepatnya ilmu tentang kecerdasan manusia bahwa dalam diri manusia sudah sejak terbentuk dalam rahim telah diberikan kecerdasan spiritual, yakni kecerdasan memberi nilai/makna bagi hidup. Dan salah satu aplikasinya yaitu memberi nilai untuk konteks memberi tanpa pernah berharap kembali sebagai suatu kerinduan yang hakiki dan tidak pernah tergantikan atau terbantahkan. Lanjut bahwa pemaknaan hidup melalui pemahaman kecerdasan spiritual sebenarnya mengajarkan kita untuk tidak menjadi pelit melainkan sadar untuk memberdayakan orang lain dengan berkat dalam bentuk uang.
Dan hal ini tidak berarti kita terus menerus membantu orang lain melainkan bagaimana sikap kita untuk mendidik orang lain agar terlepas dari kemiskinan yang mana salah satu indikatornya adalah terbelenggu dalam perangkap kesulitan keuangan. Oleh karena itu, pemahaman kecerdasan spiritual dalam ilmu keuangan perlu menjadi perhatian utama menimbang bahwa akan memberi pencerahan tentang bagaimana mengelola uang kita dengan baik dan mampu orang lain. Salah satu aplikasinya adalah dengan memberi kepada orang lain tanpa pernah berharap kembali.
Ditujukan untuk memperjelas, penulis mengambil contoh yang mungkin seringkali pembaca alami yaitu ketika pembaca sedang menumpang transportasi bus dari satu kota ke kota lain (biasanya di jawa), akan terlihat beberapa pengamen yang berusaha sekuat tenaga untuk mencari nafkah dengan bernyanyi dan setelah itu akan meminta sedikit berkat dari kerelaan anda semua. Sebagai manusia yang berspiritual keuangan, kita wajib memberi apabila kita memang ada uang. Bagaimana pembaca, setuju ngak?
Jika setuju maka anda memiliki kecerdasan spiritual keuangan karena memberi uang atas upaya pengamen tersebut sebenarnya menggambarkan sikap yang dilandasi kasih dan sikap itu diwujudkan dalam memberi sedikit dari berkat kita kepada pengamen. Kira-kira itulah salah satu contoh dan mungkin pembaca akan menemukannya sendiri dalam kehidupan pembaca hari lepas hari. Sebagai penutup, ingatlah bahwa uang yang kita miliki pada prinsipnya merupakan “berkat” sehingga uang tersebut hanyalah titipan saja pada manusia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar