Pendahuluan
Perubahan yang terjadi dalam lingkungan bisnis, dimana tuntutan dari masyarakat yang semakin intensive supaya setiap perusahaan dalam menjalankan bisnis tidak hanya bermotifkan laba melainkan juga manfaat social sehingga seluruh elemen yang ada dalam suatu lingkungan bisnis mampu mendapatkan manfaat. Hal ini sejalan dengan arti pentingnya dari munculnya etika bisnis sebagai cabang dari etika yang memfokuskan sebagai ilmu etika penerapan bahwa diperlukan prinsip-prinsip etika yang melandasi operasionalisasi perusahaan. adapun beberapa prinsip-prinsip yang dimaksud dan merupakan bagian dari prinsip-prinsip tata kelola perusahaan yang baik yaitu transparansi, akuntabilitas, responsibilitas, independensi, kesetaraan dan kewajaran.
Prinsip-prinsip dari etika bisnis yang sebagaimana termanifestasi dalam prinsip-prinsip GCG merupakan suatu kewajiban moral dikarenakan dampak-dampak yang ditimbulkan apabila dilanggar, seperti contoh pada penelitian ini yaitu studi kasus PT Jakarta internasional Hotels & Development Tbk. Dalam kasus ini terjadi bahwa PT Danayasa Arthatama Tbk selaku anak perusahaan dari PT Jakarta internasional Hotels & Development Tbk melakukan transaksi pembatalan perjanjian perikatan jual beli pada tanggal 15 juni 2001 atas tanah pada lot 18, 19 dan 21 kawasan niaga terpadu sudirman untuk dikelola kembali oleh PT Graha Putrasentosa, PT Panduneka Abadi dan PT Citra Wiradaya dengan nilai Rp315.000.000.000,00 (tiga ratus lima belas miliiar rupiah) dari PT Bank Artha Graha. Namun pada endingnya transaksi tersebut dibatalkan tanpa terlebih dahulu mendapat persetujuan dari pemegang saham independen dalam RUPS sehingga melanggar peraturan BAPEPAM Nomor IX.E.1 tentang benturan kepentingan transasksi tertentu.
Fenomena sebelumnya secara nyata telah terbukti bahwa terdapat moral hazard sehingga pemegang saham independen, yang mana pemegang saham minoritas termasuk dalam kategori ini dapat dirugikan dan hal ini merupakan hal yang bertentangan dengan prinsip GCG menurut Kepmen No.117-Bab II-Pasal 3 yaitu akuntabilitas sebelum berdampak domino kepada prinsip-GCG lainnya yaitu kewajaran dan keadilan.
Pembahasan
Teori keagenan menyatakan secara jelas bahwa bagaimana seharusnya agen bertindak sesuai dengan kepentingan principal, namun pada kenyataannya perilaku agen memiliki tendensi untuk tidak bertindak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh principal sehingga memicu masalah yang disebut masalah keagenan dan berdampak pada munculnya biaya keagenan dengan maksud bahwa biaya keagenan tersebut untuk meredam atau menghilangkan moral hazard (resiko moral) agen. Sehingga dalam membedah kasus PT Jakarta internasional Hotels & Development Tbk akan menggunakan teori keagenan yang dikaitkan dengan prinsip GCG sehingga terlihat keterkaitannya serta dampak buruk yang terjadi apabila melanggar prinsip GCG terkususnya untuk para pemegang saham dari PT Jakarta internasional Hotels & Development Tbk.
Kasus pada penelitian ini terlihat bahwa keputusan untuk membeli sejumlah tanah di kawasan niaga terpadu sudirman tanpa sepengetahuan pemegang saham indepenpen mengindikasikan bahwa adanya benturan kepentingan antara pihak manajemen dan pemegang saham sehingga apabila dikaitkan dengan prinsip GCG akan terlihat bagaimana keterkaitannya. Menurut undang-undang pasar modal pasal 82 ayat 2 bahwa BAPEPAM dapat mewajibkan emiten atau perusahaan public untuk memperoleh persetujuan mayoritas pemegang saham independen apabila emiten atau perusahaan public tersebut melakukan transaksi dimana kepentingan ekonomis emiten atau perusahaan public tersebut berbenturan dengan kepentingan ekonomis pribadi direktur, komisaris, atau pemegang saham utama emiten atau perusahaan public dimaksud. Sehingga terlihat bahwa dengan melakukan pembatalan transaksi tanpa melalui RUPS akan melanggar peraturan sehingga menyebabkan BAPEPAM menjatuhkan hukuman bagi PT Jakarta internasional Hotels & Development Tbk berupa sanksi denda sebesar Rp500.000.000 kepada PT Jakarta internasional Hotels & Development Tbk dan denda sebesar Rp500.000.000 kepada direksi dan dewan komisaris PT Jakarta internasional Hotels & Development Tbk, selain itu juga yang dimaksud dengan pemegang saham independen adalah pemegang saham minoritas sehingga diharapkan akan terlihat bagaimana keterkaitan kasus ini dengan prinsip kewajaran dan keadilan.
Prinsip GCG yang dimaksud dalam penulisan ini adalah akuntabilitas yang didefinisikan sebagai kejelasan fungsi, pelaksanaan dan pertanggungjawaban organ sehingga pengelola perusahaan terlaksana dengan baik sehingga mampu berkinerja optimal. Berdasarkan definisi tersebut terlihat bahwa kecurangan manajemen dalam mengeksekusi pembatalan perjanjian pembelian tanah merupakan tindakan melempar tanggungjawab atau keengganan untuk bertanggung jawab atas kepentingan pemegang saham. Sehingga keberfungsian dari berbagai fungsi dalam perusahaan tidaklah berjalan sesuai dengan yang diharapkan, secara implicit dapat diartikan bahwa fungsi dari dewan komisaris untuk mengontrol perilaku manajemen tidaklah terjadi sehingga merugikan pemegang saham. Hal ini terbukti dari bagaimana anak perusahaan yaitu PT Danayasa Arthatama Tbk melakukan pembatalan perjanjian yang mencerminkan minimnya control dari dewan komisaris atas operasionalisasi perusahaan atau terdapat indikasi bahwa adanya benturan kepentingan atau konflik sehingga terlihat bagaimana masalah keagenan yang terjadi. Agency problem yang terjadi merupakan signal yang jelas bahwa keberadaan code of conduct dari perusahaan ini tidaklah terealisasi dengan baik atau secara jelas mengindikasikan bahwa lemahnya system pengendalian internal sehingga tidak mampu mengikis resiko moral diantara pihak manajemen dan dewan direksi namun apabila dikaitkan dengan fungsi-fungsi yang ada dalam suatu system yang ada pada suatu perusahaan akan terlihat bahwa fungsi dewan komisaris sebagai pengontrol operasionalisasi perusahaan menjadi masalah utama dalam kasus ini disebabkan situasi yang bisnis kontemporer bahwa pemegang saham pada umumnya dari berbagai kalangan dan tempat akan sulit untuk mengontrol perusahaan sehingga kejelasan fungsi dari dewan komisaris sangat vital dibutuhkan sebagai pihak yang bertanggug jawab atas operasionalisasi perusahaan, namun yang terjadi pada PT Jakarta internasional Hotels & Development Tbk bahwa tindakan kecurangan tersebut terjadi namun tidak mendapat respon yang berarti dari dewan komisaris sehingga secara implicit bahwa dewan komisaris tidaklah professional dalam arti pertama; tidak menjunjung tinggi prinsip bertanggung jawab untuk kinerja mereka dan bertanggung jawab terhadap pemegang saham atau dengan kata lain terjadi erosi tanggung jawab pada diri dewan komisaris, kedua; tidak berpripadi otonom dalam arti bahwa dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya berdasarkan kesadaran diri, kebebasan dan rasionalitas, sedangkan yang ketiga yaitu tidak memiliki jiwa yang dilandasi keadilan sehingga berdampak pada ketidakbecusan dalam melakukan controlling terhadap seluruh organ yang ada dalam perusahaan.
Adapun prinsip kesetaraan dan kewajaran diartikan sebagai keadilan dan kesetaraan didalam memenuhi stakeholder yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dari definisi tersebut terlihat bahwa tindakan pembatalan perjanjian tersebut telah menyalahi peraturan BAPEPAM sehingga tidak memberi kesempatan kepada pemegang saham untuk meninjau kebijakan tersebut dan meresponnya. Namun yang terpenting dari kasus ini adalah adanya konflik kepentingan yang mengindikasikan adanya kepentingan pemegang saham minoritas yang terabaikan, dimana adanya probability bahwa keputusan manajemen untuk mengeksekusi kebijakan pembatalan sudah mendapat persetujuan pemegang saham mayoritas sebelumnya namun tidak terdeteksi oleh pemegang saham minoritas. Ketidakadilan terhadap pemegang saham minoritas merupakan suatu kekeliruan karena selain menyalahi peraturan terutama undang-undang pasar modal pasal 82 ayat 2 oleh BAPEPAM, tindakan untuk tidak mengikutsertakan pemegang saham minoritas menyalahi azas dari saham itu sendiri yaitu mengenai kepemilikan atau sebagai pemiliki dari suatu perusahaan. Pernyataan ini merupakan suatu tanda bahwa peusahaan tersebut dimiliki oleh investor sehingga apabila terjadi berbagai peristiwa yang menyebabkan perusahaan tersebut mengalami gejala kebangkrutan atau mungkin saja mengalami kebangkrutan maka investor tersebut akan menjadi pihak pertama yang harus bertanggung jawab sehingga tindakan manajemen dari PT Jakarta internasional Hotels & Development Tbk untuk melakukan pembatalan tanpa sebelumnya mendapatkan persetujuan pemegang saham independen merupakan tindakan yang tidak etis karena apabila kebijakan membatalkan perjanjian tersebut mempengaruhi operasionalsasi perusahaan atau mengakibatkan terganggunya operasionalisasi perusahaan sehingga mempengaruhi profit atau mengakibatkan perusahaan tersebut bangkrut maka pemegang saham terkhusunya pemegang saham minoritas juga akan terkena dampaknya.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan
Keputusan untuk membatalkan transaksi pembatalan perjanjian perikatan jual beli tanpa sepengetahuan pemegang saham merupaka tindakan yang melanggar peraturan terutama undang-undang pasar modal pasal 82 ayat 2 oleh BAPEPAM sehingga menyebabkan diberi sanksi berupa denda. Namun fenomena yang terjadi pada PT Jakarta internasional Hotels & Development Tbk telah menyalahi prinsip etis dalam menjalankan bisnis yang termanisfestasi dalam prinsip GCG yaitu prinsip akuntabilitas dan prinsip kesetaraan dan kewajaran sehingga akan berdampak buruk pada pemegang saham terutama pemegang saham minoritas.
Secara teoritis bahwa fenomena yang terjadi pada PT Jakarta internasional Hotels & Development Tbk merupakan contoh konkret dari teori keagenan sehingga diperlukan upaya serius mengikis moral hazard yang mana apabila dikaitkan dengan prinsip GCG akan tercermin bahwa minimnya implementasi code of conduct merupakan signal dari adanya masalah keagenan sebelum berakibat buruk pada pemegang saham.
Saran
Diperlukan RUPS untuk menggantikan dewan direksi dari PT Jakarta internasional Hotels & Development Tbk karena ketidabecusan dalam memastikan bahwa seluruh fungsi yang ada dalam perusahaan telah melaksanakan sesuai yang diharapkan, sedangkan alternative yang kedua adalah diperlukan menambah biaya keagenan untuk mengontrol atau mengikis moral hazard dari seluruh pengelola perusahaan atau mungkin perlu merombak struktur modal perusahaan untuk menyeimbangkan proporsi antara pasiva dan equity menjadi lima puluh persen-lima puluh persen atau 50%-50% sehingga memungkinkan pengontrolan dari pihak luar atas operasionalisasi perusahaan, dimana pihak eksternal yang dimaksud yaitu bank sehingga kondisi PT Jakarta internasional Hotels & Development Tbk akan lebih akuntable dan menunjang keadilan dan kewajaran.
Daftar Pustaka
Keraf, 1991. Etika bisnis. Kanisius, Yogyakarta.
Surya dan Yustiavandana, 2006. Penerapan Good Corporate Governance. Kencana, Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar