Fenomena overreaction merupakan fenomena dimana investor melakukan tindakan membeli dan menjual yang berlebihan dan berakibat pada terkoreksinya harga saham secara tidak normal. Fenomena ini menurut De Bondt dan Thaler (1990) akan memicu anomaly winner-losser, dimana saham-saham yang memiliki track record buruk (past losser) akan berbalik menjadi saham-saham yang unggul seiring berjalannya waktu. Namun sebelum membahas lebih jauh tentang fenomena ini maka penulis akan memaparkan tentang penyebab terjadinya fenomena ini sehingga akan memudahkan dalam memahami implikasi-implikasinya dalam bidang keuangan, terkususnya keterkaitannya dengan strategi investasi kontrarian.
Menurut De Bondt dan Thaler (1990) yang juga dipertajam oleh Cutler, Poterba, dan Summers (1991) bahwa overreaction terjadi karena investor melakukan ekstrapolasi data harga saham masa lalu ke masa yang akan datang atau lebih tepatnya yaitu representativeness bias merupakan penyebab utama dari fenomena overreaction. Lebih lanjut, dijelaskan apabila harga saham secara time series menunjukkan kenaikkan maka investor akan berkeyakinan bahwa prospeknya baik sehingga akan berlomba-lomba membeli saham tersebut dan berefek domino pada semakin melambungnya harga dari saham tersebut dan begitu juga sebaliknya, namun perilaku bereaksi berlebihan tersebut membawa konsekwensi tersendiri bagi investor yaitu keyakinan yang mengabaikan ketidakpastian. Adapun maksud dari mengabaikan ketidakpastian yaitu kemungkinan terjadinya pembalikan trend karena seperti yang diketahui bahwa harga saham merupakan persepsi investor akan prospek di masa yang akan datang sehingga apabila terjadi gejolak-gejolak kondisi eksternal maupun internal yang membawa akibat buruk pada kinerja perusahaan dimasa yang akan datang maka harapan untuk mendapatkan return akan tertunda atau bahkan tidak akan pernah terwujud.
Popescu (2008) menyatakan bahwa fenomena overreaction memiliki dua penyebab utama yaitu representativeness bias seperti penjelasan sebelumnya serta prospect theory atau teori harapan, yang mana akan penulis deskriptifkan secara garis besar. Teori harapan pertama kali dikembangkan oleh Kahneman and Tversky pada tahun 1979. Kedua penemu ini mengkategorikannya menjadi beberapa jenis, diantaranya yaitu regret aversion yang akan menjadi focus dalam tulisan ini. Secara etimologis regret aversion didefinisikan sebagai keputusan untuk bertindak menghindari kesalahan keputusan yang sama karena adanya rasa takut menghadapi kerugian yang sama di dalam diri seseorang. Implikasinya dalam keputusan keuangan yaitu investor akan cenderung membuat keputusan guna menghindari penyesalan yang sama seperti seharusnya membeli melainkan menjual dan begitu juga sebaliknya atau lebih tepatnya yaitu dalam kondisi keuangan yang tidak menentu dan harga-harga saham pada umumnya menunjukkan penurunan maka seharusnya investor membuat keputusan untuk membeli bukannya menjual dan begitu juga sebaliknya (Pompian, 2006).
Didasari pernyataan dari ahli-ahli ilmu keuangan berbasis perilaku sebelumnya terindikasi secara eksplisit bahwa penyebab fenomena overreaction yaitu persepsi investor untuk hanya menatap masa lalu atau seperti yang diibaratkan sebagai seorang pengemudi yang sedang mengemudi namun tatapan matanya hanya tertuju pada pandangan dibelakangnya. Lebih lanjut, dengan mengetahui apa, mengapa dan bagaimana terjadinya overreaction maka secara implisit dipahami bahwa overreaction merupakan peluang yang bagus bagi investor yang cerdas karena dengan menggunakan strategi investasi kontrarian (runs against the crowd.), maka investor akan lebih leluasa bergerak berlawanan arah seperti mengambil tindakan membeli pada saat terjadi aksi jual secara berlebihan (buy low) dan bertindak menjual disaat terjadi aksi beli secara berlebihan (sell high).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar