Valas (foreign exchange) merupakan salah satu indicator makroekonomi yang memiliki pengaruh signifikan pada pertumbuhan ekonomi karena fluktuasinya berdampak pada perdagangan antara negara. Hal ini membawa konsekwensi pada bagaimana menjaga kebijakan-kebijakan pemerintah terkususnya bank sentral untuk menstabilkannya sehingga tidak membawa perubahan pada pola perdagangan suatu negara kususnya Indonesia, namun hal ini bukanlah masalah sederhana yang dengan mudah diaplikasikan karena dalam rangka menjaga stabilitas valuta asing maka banyak faktor yang harus dipertimbangkan.
Valas (foreign exchange) yang didefinisikan sebagai mata uang asing dan alat pembayaran lainnya yang dipergunakan untuk melakukan atau membiayai transaksi ekonomi keuangan internasional dan yang mempunyai catatan kurs resmi pada bank sentral. Didasari definisi tersebut tercermin bahwa valas memiliki keunikan tersendiri karena selain sebagai berfungsi sebagai nilai tukar maka valas sendiri memiliki beragam dimensi yang mempengaruhinya, yang mana factor-faktor tersebut melibatkan factor-faktor ekonomi maupun diluar ekonomi. Menurut Moffet et all bahwa determinan-determinan valas dikategorikan menjadi lima bagian yaitu pertama kondisi paritas meliputi tingkat inlasi relatif, tingkat suku bunga relatif, nilai tukar forward dan kebijakan bank sentral.
Kedua, aspek spekulasi yang meliputi currency, sekuritas, arbitrasi suku bunga, real estate dan komoditas. Ketiga, investasi lintas negara yang meliputi investasi langsung dan tidak langsung. Keempat, resiko politik yang meliputi control modal, pasar gelap dalam mata uang, spread nilai tukar dan resiko premium pada sekuritas dan FDI. Kelima atau yang terakhir yaitu infrastruktur yang meliputi kekuatan system perbankan, kekuatan pasar sekuritas dan outlook untuk pertumbuhan dan keuntungan. lebih lanjut kelima elemen beserta factor-faktornya tersebut merupakan gambaran besar atas bagaimana suatu valas dipengaruhi, namun pada tulisan ini hanya memfokuskan pada factor tingkat inflasi relative, tingkat suku bunga relative, real estate dan investasi langsung serta tidak langsung. Adapun alasan mengapa kelima faktor ini dipilih karena didorong oleh ketercukupan data dan untuk membatasi kekompleksitas alat bedah yang digunakan sehingga diharapkan diperoleh kerelevansiannya.
Faktor pertama yaitu tingkat inlasi relative, yang mana didasari penelaahan menggunakan teori paritas daya beli (purchasing power parity). Teori ini menjabarkan bahwa apabila terdapat perbedaan inflasi antara kedua negara maka kurs yang akan datang dapat diprediksi sehingga akan berguna dalam mengantisipasi perubahan nilai tukar dimasa yang akan datang. Lebih lanjut maka dalam penerapan teori ini dibutuhkan data-data inflasi namun sebelum melakukan analisa diperlukan bahwa dalam system ekonomi terdapat banyak faktor yang harus dipertimbangkan. Terlepas dari keberadaan teori ini atas system ekonomi maka dibawah ini akan disajikan bagaimana pergerakan inflasi yang terjadi di Indonesia.
Grafik 2.1 Pergerakan Inflasi
Didasari data ini maka terjadi kenaikkan inflasi yang mana memiliki dampak domino terhadap nilai tukar dimasa yang akan datang karena apabila ditelaah maka akan menghasilkan gambaran kenaikkan inflasi ini juga memiliki keterkaitan erat dengan kenaikkan atau penurunan suku bunga sehingga untuk memudahkan pemahaman maka diberikan pergerakan suku bunga seperti dibawah ini.
Grafik 2.2 Pergerakan BI Rate
Kedua grafik diatas memiliki keterkaitan bahwa apabila bank sentral melakukan kebijkan moneter longgar dengan menurunkan suku bunga maka akan memicu masyarakat untuk menambah konsumsi bagi sector rumah tangga dan melakukan investasi bagi sector swasta namun hal ini sebenarnya merupakan pedang bermata dua karena inflasi dapat terjadi apabila tidak diantisipasi karena seperti yang diketahui bahwa masyarakat Indonesia memiliki kecendrungan konsumsi yang tinggi sehingga bisa berakibat pada kenaikkan harga barang-barang, namun hal ini juga memiliki dampak berikutnya yang tidak disukai yaitu akan menurunnya bunga rill sehingga bagi sektor swasta akan memicu untuk berinvestasi diluar negri dan mendorong permintaan valas untuk kebutuhan tersebut.
Lebih lanjut jika proses ini terus berlanjut maka akan mempengaruhi naiknya biaya yang harus ditanggung perusahaan karena seperti yang diketahui bahwa masih dominannya impor bahan baku untuk diproses manjadi barang jadi sehingga akan mempengaruhi daya saing karena perubahan harga yang disebabkan naiknya harga bahan baku. Namun proses ini tidak berhenti sampai disini karena menurut hukum permintaan dan penawaran bahwa penurunan daya saing produk dalam negri karena inflasi akan mempengaruhi perolehan devisa negara dan berakhir pada kemampuan negara dalam menyediakan dollar untuk memenuhi perdagangan sehingga apabila situasi ini terjadi maka akan memicu lagi permintaan (debt) perusahaan domestik pada berbagai pinjaman luar negri.
Lebih lanjut perubahan pada inflasi dan tingkat bunga yang akan mempengaruhi permintaan serta penawaran dollar akan disajikan pada bagian dibawah ini.
Grafik 2.1 Pergerakan Kurs Jual Rp/$
Grafik 2.1 Pergerakan Kurs Beli Rp/$
Dari grafik nilai tukar beli dan jual Rp/$ terlihat bahwa pada tahun 2006 terjadi inflasi dan segera direspon oleh pemerintah dengan menaikkan tingkat bunga untuk menarik jumlah uang beredar sehingga inflasi tidak terus-menerus terjadi. Namun pada awal tahun 2008 rupiah sempat terdepresiasi sampai pada bulan desember 2008 disebabkan adanya factor eksternal yaitu krisis global yang melanda Indonesia namun fenomena ini penulis memasukkan kedalam kategori real estate karena seperti yang diketahui bahwa krisis tersebut dipicu oleh adanya kredit macet terhadap investasi besar-besaran pada real estate di Amerika Serikat. Dalam rangka melihat bagaimana keterkaitan kredit macet tersebut dengan nilai tukar rupiah terhadap dolar maka perlu melihat segi historis dari krisis tersebut.
Krisis global terjadi disebabkan jatuhnya harga perumahan di AS secara massif sehingga mengakibatnya tergerusnya aset rumah tangga yang menekan tingkat pengeluaran, yang menyebabkan pelemahan output dan meningkatnya pengangguran. Pada saat yang sama, kenaikan harga energi dan pangan global yang menurunkan pendapatan riil. Lebih lanjut pelemahan ekonomi yang terjadi di negara lain turut menyebabkan jatuhnya tingkat ekspor sang adidaya. Namun yang terpenting ambruknya harga perumahan juga mengakibatkan runtuhnya aset perusahaan dan lembaga keuangan dan menyebabkan ketidakpastian serta ketidakpercayaan terhadap derajad solvency dan likuditas dari peminjam, atau bahkan terhadap nilai kapital yang dimiliki sang peminjam sendiri sehingga aliran kredit terhenti dan kemudian menyebabkan tersendatnya aktivitas bisnis.
Lebih lanjut didorong oleh adanya kejatuhan ekonomi dan adanya dana besar-besaran dari luar AS menyebabkan krisis ini mengalami rantai kehancuran kenegara-negara eropa sehingga banyak negara di eropa barat harus mengeluarkan dana cadangan untuk menopang krisis perbankan karena ikut berpartisipasi dalam investasi real estate ini. Akibat lanjutan dari krisis ini membuat presiden Indonesia Susilo Bambang Yudoyono mengeluarkan 10 arahan seperti:
1. Semua kalangan harus tetap optimis, dan bersinergi untuk memelihara momentum pertumbuhan ekonomi dan mengelola serta mengatasi dampak krisis keuangan yang terjadi di Amerika Serikat. Oleh sebab itu, kita semua tidak boleh panik dan harus tetap menjaga kepercayaan masyarakat.
2. Dengan kebijakan dan tindakan yang tepat, serta dengan kerja keras dan upaya maksimal, nilai pertumbuhan ekonomi tetap dipertahankan sebesar 6 persen. Komponen yang perlu dijaga antara lain: konsumsi, belanja pemerintah, investasi, ekspor, dan impor. Tindakan yang perlu dilakukan adalah pemanfaatan perekonomian domestik dan mengambil pelajaran dari krisis 1998, di mana sabuk pengaman perekonomian domestik adalah sektor UMKM, pertanian, dan sektor informal.
3. Optimasi APBN 2009 untuk memacu pertumbuhan dan membangun social safety net. Hal- hal yang harus diperhatikan yaitu:
- penyediaan infrastruktur dan stimulasi pertumbuhan
- alokasi anggaran penanggulangan kemiskinan tetap menjadi prioritas
- defisit anggaran harus “tepat” dan “rasional” atau tidak mengganggu pencapaian sasaran “kembar” (growth with equity)
4. Dunia usaha khususnya sektor riil harus tetap bergerak, agar penerimaan negara tetap terjaga dan pengangguran tidak bertambah.
5. Semua pihak agar cerdas menangkap peluang untuk melakukan perdagangan dan kerjasama ekonomi dengan negara sahabat.
6. Galakkan kembali penggunaan produk dalam negeri sehingga pasar domestik akan bertambah kuat.
7. Memperkokoh sinergi dan kemitraan (partnership) pemerintah dengan perbankan dan dunia usaha.
8. Semua kalangan diminta menghindari sikap egosektoral dan memandang remeh masalah. Presiden menegaskan pentingnya kerjasama yang terkoordinir antar instansi terkait.
9. Mengutamakan kepentingan rakyat diatas kepentingan golongan dan pribadi.
10. Semua pihak diminta melakukan komunikasi dengan tepat dan bijak kepada rakyat.
Dari kesepuluh arahan tersebut terlihat bahwa aspek kepercayaan dari seluruh masyarakat Indonesia sangat dibutuhkan untuk menghadapi krisis global karena dengan kepercayaan tersebut akan memampukan untuk saling bekerja sama dan berakibat pada semakin membaiknya iklim bisnis di Indonesia. Sejalan dengan hal itu, ilkim bisnis yang baik akan mengakibatkan kepercayaan investor asing terhadap Indonesia sehingga memicu mereka untuk berinvestasi di Indonesia. Lebih lanjut dengan munculnya niat berinvestasi di Indonesia, entah investasi langsung maupun tidak langsung maka akan mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dollar karena adanya dorongan permintaan dan penawaran (invisible hand).
Dengan demikian, investasi langsung yang berupa penanaman modal asing seperti pembangunan pabrik atau kegiatan berbisnis lainnya yang memiliki wujud nyata akan mempengaruhi nilai tukar rupiah terhadap dollar karena investor asing sebelum melakukan pembangunan pabrik di Indonesia maka mereka diwajibkan untuk menukar mata uang mereka dengan rupiah sehingga permintaan rupiah tersebut akan berefek terhadap penguatan rupiah walaupun peningkatan tersebut bisa signifikan tetapi juga bisa tidak signifikan. Sedangkan investasi tidak langsung yaitu investasi oleh investor asing namun tidak memiliki wujud nyata dan memiliki kepekaan untuk segera ditarik kembali sehingga membuat rupiah rentan terhadap fluktuasi menguat ataupun melemah. Lebih dari itu, investasi tidak langsung dapat berupa pembelian saham-saham maupun instrument-instrumen keuangan lainnya sehingga menurut hukum permintaan dan penawaran maka akan terjadi dorongan permintaan rupiah untuk melakukan transaksi saham (trading) sehingga posisi rupiah memiliki kemungkinan untuk terapresiasi atau menguat terhadap dollar, terkususnya dollar Amerika Serikat.
Daftar Pustaka
Analysis team of KSEP ITB. //www.analisa krisis global.com-Krisis global dan dampaknya ke Indonesia. 12 desember 2009
Bank Indonesia.http://www.BI.go.id.com-laporan inflasi. 12 desember 2009
Bank Indonesia.http://www.BI.go.id.com-BI Rate. 12 desember 2009
Bank Indonesia.http://www.BI.go.id.com-Kurs Uang Kertas Asing Mata Uang USD. 12 desember 2009
Prasetiantono, A, T, Kuncoro, M. 2008. Memahami Krisis Global Bagaimana Harus Bersikap?. Departemen Keuangan
Prasetiantono,A, T. //www.analisa ekonomi.com-Prospek Ekonomi Indonesia 2007. 12 desember 2009
Eitemen, D, Stonehill, A, Moffet, M. 2001. Multinational Business Finance. Addison-Wesly Publising Company. USA
Hady, H. 2001. Valas untuk manajer.Ghalia Indonesia. Jakarta
Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), 2008. Antisipasi krisis keuangan global. 12 desember 2008
Setyawan, A, B. 2007. //www.inlasi dan valas.com - Bahan Kuliah Ekonomi Moneter. 12 desember 2009
Terbaik! makasih ya gan! ijin membaca :)
BalasHapus