Suarniki (2005) menyatakan bahwa budaya kerja adalah sebuah konsep, memahami sebuah konsep sering tidak mudah, terlebih konsep yang abstrak. Belakangan ini setiap pekerjaan yang tidak beres, prosedur yang tidak jalan, kinerja pegawai yang buruk, semua ditimpakan kepada konsep yang dikemas dalam “budaya kerja”. konsep budker menjadi “penampungan” masalah suatu produk atau proyek gagal.
Sebenarnya fenomena ini dapat dipahami, kuncinya pada pemahaman. Banyak cara untuk dapat memahaminya, cara paling mudah adalah dengan mencari definisinya. Definisi tentang budaya kerja memiliki variasi. Definisi tentang budaya kerja sangat banyak variasinya. Schein mendefinisikan budaya kerja kedalam 10 definisi yang berbeda. Mulai dari perilaku, noema, nilai, aturan main, iklim kerja, embedded skill, asumsi dasar, dan seterusnya. Jones mendefinisikan budaya kerja sebagai semua nilai dan norma yang mengontrol interaksi anggota organisasi, baik antar anggota maupun dengan stakeholder. Disni ada tiga kata kunci yaitu nilai, control dan interaksi.
Budaya seperti sebuah kekuatan yang tidak kelihatan yang mengatur interaksi dalam organisasi. budaya mempengaruhi kinerja melalui efisiensi SDM-nya; keharmonisan, motivasi, efektifitas komunikasi, dan proses bisnis yang efisien. Disadari atau tidak, budaya mengendalikan organisasi secara internal, budaya menjadi roh organisasi. Budaya mengejawantah dalam perilaku anggota organisasi. organisasi yang menganut nilai agresif-inovatif misalnya, akan tercermin dari kebijakan perusahaan, misalnya akan terlihat pada penguasaan pasar, strategi promosi, kebijakan harga dan sebagainya.
Penampilan budaya dapat dibedakan pada tiga lapisan; pertama, lapisan budaya yang paling luar dan kelihatan adalah artefak, contoh-contoh artefak dalam organisasi adalah pakaian, dasi, ruangan kerja, berbagai seremoni, lay-out kantor, dan lain-lain. Lapisan kedua yaitu; nilai-nilai yang relevan (espoused value), contohnya nilai sadar biaya, hemat, kususnya biaya-biaya kegiatan yang masih kurang jelas hasilnya. Disini sebagai sebuah nilai, belum kuat dianut oleh anggota organisasi, dan belum dapat diangkat menjadi nilai yang dianut secara luas dan menjadi asumsi dasar (basic assumption) sebagai lapisan budaya yang ketiga atau yang terdalam. Pada contoh ini, asumsi dasar yang dianut masih rendah, asumsi dasar yang lain dapat digali.
Asumsi dasar semacam inilah sebenarnya yang mengkristalakn menjadi sebuah budaya, dan karena sudah mengkristal dan teruji selama waktu tertentu, asumsi dasar sulit dirubah walaupun dapat dirubah. Budaya merupakan kumpulan dari asumsi-asumsi, yang tercermin dalam respon perilaku sehari-hari. Budaya adalah konsep yang abstarak namun banr-benar ada dan nyata bekerja dalam organisasi.
Sumber berbeda, Triguna (1995 dalam Daryatmi) bahwa budaya Kerja adalah suatu falsafah yang didasari oleh pandangan hidup sebagai nilai-nilai yang menjadi sifat, kebiasaan dan kekuatan pendorong, membudaya dalam kehidupan suatu kelompok masyarakat atau organisasi, kemudian tercermin dari sikap menjadi perilaku, kepercayaan, cita-cita, pendapat dan tindakan yang terwujud sebagai “kerja” atau “bekerja”. Melaksanakan budaya kerja mempunyai arti yang sangat dalam, karena akan merubah sikap dan perilaku sumber daya manusia untuk mencapai produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi tantangan masa depan.
Lebih lanjut, dijelaskan juga bahwa orang yang terlatih dalam kelompok budaya kerja akan mempunyai sikap:
a. Menyukai kebebasan, pertukaran pendapat, dan terbuka bagi gagasan-gagasan baru dan fakta baru dalam usahanya untuk mencari kebenaran.
b. Memecahkan permasalahan secara mandiri dengan bantuan keahliannya berdasarkan metode ilmu pengetahuan, pemikiran yang kreatif, dan tidak menyukai penyimpangan dan pertentangan.
c. Berusaha menyesuaikan diri antara kehidupan pribadinya dengan kebiasaan sosialnya.
d. Mempersiapkan dirinya dengan pengetahuan umum dan keahliankeahlian khusus dalam mengelola tugas atau kewajiaban dalam bidangnya.
e. Memahami dan menghargai lingkungannya.
f. Berpartisipasi dengan loyal kepada kehidupan rumah tangga, masyarakat dan organisasinya serta penuh rasa tanggung jawab.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa keberhasilan pelaksanaan program budaya kerja antara lain dapat dilihat dari peningkatan tanggung jawab, peningkatan kedisiplinan dan kepatuhan pada norma/aturan, terjalinnya komunikasi dan hubungan yang harmonis dengan semua tingkatan, peningkatan partisipasi dan kepedulian, peningkatan kesempatan untuk pemecahan masalah serta berkurangnya tingkat kemangkiran dan keluhan.
Peneliti lain, Wirijadinata mendefinisikan budaya kerja adalah sistem untuk mengikut sertakan seluruh karyawan atau yang dipimpin secara gotong royong, kekeluargaan, dan musyawarah untuk mufakat dalam rangka meningkatkan kualitas hasil pekerjaan, sehingga memberikan kepuasan kepada pemakai, dan untuk meningkatkan produktifitas kerja. dengan demikian definisi ini lebih menekankan pada nilai kesepakatan sosial. Definisi lain, menurut hasil forum diskusi manajemen XI di Jakarta, 11 maret 2000 bahwa budaya kerja adalah suatu tatanan atau aturan permainan dalam organisasi yang harus ditaati oleh semua sumber daya manusia yang ada, untuk mencapai kinerja yang tinggi.
Menurut Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara RI, bahwa budaya kerja yang kuat menuntun perilaku seseorang secara terpola dalam pengertian (1) budaya kerja sebagai system aturan, (2) budaya kerja memungkinkan rasa lebih baik dalam mengerjakan sesuatu, dall (3) budaya kerja dapat membangkitkan kesanggupan untuk mencari dayasuai dengan keadaan-keadaan berbeda. Dengan demikian dapat diformulasikan bahwa budaya kerja aparatur negara dapat diartikan sebagai sikap dan perilaku individual dan kelompok aparatur negara yang didasari atau tidak disadari. Nilai-nilai yang diyakini kebenarannya dan telah menjadi sifat serta kebiasaan dalam melaksanakan tugas dan pekerjaan sehari-hari.
Lebih lanjut, pada hakekatnya, bekerja merupakan bentuk atau cara individu maupun kelompok dalam mengaktualisasikan diri. Bekerja merupakan bentuk nyata dari nilai. kepercayaan dan pemahaman yang dianut dan dapat menjadi motivasi untuk melahirkan karya bermutu. Secara praktis, seseorang memiliki persepsi mengenai cara bekelja dalam bidong tertentu yang ditekuninya atas dasar prinsip-prinsip moral yang kuat.
Budaya kerja merupakan cara pan dang seseorang dalam member makna terhadap "kerja". Dengan demikian hudaya kerja merupakan cara pandang seseorang terhadap hidang yang ditekllllin}'a dan prinsipprinsip moral yang dimilikillya, yang melllllnbuhkall keyakinan yang kuat atas dasar Ililai-Ililai yang diyakini, memiliki semangat yang tinggi dan sungguh-sungguh untuk mewujudkan prestasi kelja terbaik. Oleh karena itu, budaya kerja mengandung beberapa pengertian yaitu:
a. Ada pola nilai, sikap, tingkah laku, hasil karsa dan karya, termasuk segala instrumen, system kerja, tehnologi dan bahasa yang digunakan.
b. Budaya berkaitan erat dengan persepsi terhadap nilai-nilai dan lingkungannya yang melahirkan makna dan pandangan hid up, yang akan mempengaruhi sikap dan tingkah laku dalam bekerja.
c. Budaya merupakan hasil dari pengalaman hidup, kebiasaan-kebiasaan serta proses seleksi (menerima atau menolak) norma-norma yang ada dalam cara berintegrasi sosial atau menempatkan dirinya ditengah-tengah lingkungan kerja tertentu.
d. Dalam proses budaya terdapat saling mempengaruhi dan saling ketergantungan (interdependensi), baik sosial maupun lingkungan non sosial.
Nilai-nilai budaya dasar kerja terdiri dari 34 unsur nilai atau 17 pasang nilai yang diharapkan dapat dikembangkan oleh setiap apar~tur negara, sehingga m1fara nilai-Jlilai yang diyakini dan kerja sebagai bentuk aktualisasi keyakinan tersebut, akan menumbuhkan motivasi dan tanggung jawab terhadap peningkatan produktivitas dan kinerja. Adapun ke 17 pasang nilai-nilai dasar dimaksud adalah sebagai berikut :
1. Komitmen dan konsisten (terhadap visi, misi, dan tlljuan organisasi, dalam pelaksanaan kebijakan negara serta peraturan perundangan yang berlaku).
2. Wewenang dan tanggung jawab.
3. Keikhlasan dan kejujuran.
4. Integritas dan profesionalisme.
5. Kreativitas dan kepekaan /sensitivitas ( terhadap lingkungan tugas).
6. Kepemimpinan dan keteladanan.
7. Kebersamzan dan dinamika kelompok kerja.
8. Ketepatan /keakurasian dan kecepatan.
9. Rasionalitas dan kecerdasan emosi.
10. Keteguhan dan ketegasan.
11. Disiplin dan keteraturan bekerja.
12. Keberanian dan kearifan (dalam mengambil keputusan dan menangani konflik).
13. Dedikasi dan loyalitas.
14. Semangat dan motivasi.
15. Ketekunan dan kesabaran.
16. Keadilan dan keterbukaan.
17. Penguasaan ilmu pengetahuan dan tehnologi (yang diperlukan untuk melaksanakan tugas/pekerjaan, terutama metode analisis dan pengambilan keputusan, keahlian/keterampilan manajerial, teknis, hukum, administrasi, keterampilan sosial dan komunikasi).
Namun dalam penelitian ini akan menggunakan definsi dari Triguna (1995), karena menurut peneliti definisi yang diberikan oleh Triguna (1995) beresensikan falsafah hidup atau fondasi cara pandang atau paradigama atau nilai transenden. Lebih lanjut, menurut hemat peneliti definisi tersebut juga memiliki keterkaitan yang sangat erat dengan visi suatu organsiasi serta etos kerja organisasi. Adapun maksud dari visi dalam penelitian ini adalah sesuatu yang akan terus hidup atau terus-menerus diperjuangkan untuk diwujudkan, atau dengan perkataan lain adalah cita-cita tertinggi yang akan diusahakan secara terus-menerus untuk diwujudkan dalam perilaku sehari-hari oleh semua anggota organisasi, sedangkan etos kerja adalah semangat (spirit/soul) kerja yang menjadi ciri khas atau unik dan keyakinan dari suatu organisasi. Dengan perkataan lain, etos kerja merupakan jiwa uniknya yang menjadi dasar bagi semua anggota organisasi dalam bekerja atau berkarya untuk mewujudkan visi organisasi, dan dimulai dari perilaku sehari-hari.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar