Memandang
kesalahan orang lain itu sangat mudah dilakukan namun melihat kesahan diri
sendiri merupakan suatu upaya yang membutuhkan kesadaran serta kejujuran
tingkat tinggi. Karena pada prinsipnya melihat kesalahan atau kebodohan jiwa seringkali
orang malas melakukannya dan pada akhirnya hanyalah pengulangan-pengulangan
kembali kesalahan serta mungkin saja akan memicu perilaku penggerutu. Efek
lanjutannya adalah hanyalah semakin tenggelam dalam lautan kebodohan jiwa yang
tak berkesudahan.
Terkait
tulisan ini, sebenarnya hanya akan mendeskripsikan bagaimana kebodohan jiwa
dapat terjadi dalam bidang pengelolaan keuangan pribadi. Maksudnya yaitu
bagaimana ketidaksadaran akan kebodohan jiwa dalam mengelola uang akan
terulang-ulang lagi dan kemungkinan untuk sadar menjadi kecil peluangnya
walaupun tidak berarti tidak dapat diubah. Spesifiknya yaitu bagaimana orang
ketika salah mengelola keuangannya seperti boros, suka utang, gaya hidup mewah
dan lain-lainnya akan terulang-ulang dan akan menjadi suatu kebiasaan yang
melekat dalam hidup orang tersebut. Dan mungkin saja hal itu dapat berefek pada
generasi selanjutnya sehingga menjadi suatu kebodohan turun temurun dari
generasi ke generasi.
Hal
sebelumnya akan terdeteksi lagi ketika mengamati bagaimana gaya hidup jaman
sekarang yang memang dapat dikatakan berlebihan dalam konsumsi atau berperilaku
konsumtif akan sangat terasa dan tampak dengan jelas bahwa kebodohan jiwa dalam
mengelola keuangan. Apalagi jika sampai terjebak dalam persepsi bahwa kesuksesan
diriku terletak dari apa yang saya gunakan”. Karena persepsi tersebut akan
mengarahkan pada berupaya supaya terlihat sukses oleh orang lain walaupun pada
kenyataannya tidaklah demikian. Ditambah lagi dengan sikap nekad untuk
menunjukkan kesuksesan kita melalui barang-barang mewah yang digunakan akan
membawa pada kondisi utang yang berlebihan.
Dengan
kondisi utang yang berlebihan karena mengejar gengsi. Orang tersebut dapat saja
membawa kebodohan jiwa tersebut pada keturunan mereka dan yang akan terjadi
kemudian sudah dapat ditebak yaitu akan semakin memperburuk keadaan dan tentu
saja akan semakin jauh dari fitrah seorang manusia. Logikanya adalah dengan
terperangkap dalam kebodohan jiwa dan tidak sadar-sadar juga dengan
kebodohannya tersebut akan mempermalukan dirinya senidri bahwa dirinya adalah
manusia yang diberkahi dengan aka budi yang tujuannya yaitu memampukan kita
untuk merespon, menginterpretasi dan membuat pertimbangan ketika membuat
keputusan. Dan tentu saja keputusan tersebut meliputi keputusan keuangan juga.
Terlepas
dari keterkaitan dengan fitrah manusia, dalam tulisan ini juga melihat bahwa
kebodohan jiwa yang dibawah turun temurun akan menimbulkan konsekwensi buruk
yang tak terkirakan. Tepatnya adalah menimbulkan mindset pecundang yang tidak
mampu keluar dari kebodohan jiwa. Bermodalkan mindset pecundang akan
menimbulkan jiwa pengecut yang hanya bisa hidup dalam angan-angan dan tak mampu
melihat kenyataan yang sebenarnya. Tanpa kemampuan melihat kenyataan akan
membawa pada kondisi yang hanya bekerja-bekerja dan bekerja tanpa mau memaknai
hidupnya untuk mencapai kebebasan keuangan yang pada hakikinya adalah kewajiban
semua orang. Dan mungkin saja akan menimbulkan sikap iri hati yang hanya suka
berpikiran buruk ketika melihat orang lain sukses, apalagi yang sukses dalam
bidang keuangan. Oleh karena itu, “jangan melotot kebodohan jiwa, cepat ambil
tindakan untuk mengatasinya”.